Perbuatan Tuhan

Perbuaan Manusia dan Perbuatan Tuhan

      2.1.      Pengertian Teologi dan Sejarah Perkembangannya

Teologi lazim dipahami secara umum sebagai “ilmu tentang ke-Tuhan-an”, sebab dilihat dari akar katanya, berasal dari theos (Tuhan) dan logos (ilmu, pengetahuan). Teologi dengan demikian, berbicara tentang Tuhan. Tidak ada teologi tanpa Tuhan.
Teologi terkait dengan “Tuhan” dan “pengetahuan” itu sendiri, maka dapatlah disimpulkan bahwa teologi adalah:
1.      Ilmu tentang hubungan dunia ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah) dengan dunia fisik.
2.      Ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah (atau para dewa).
3.      Doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah (atau para dewa) dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu dari para pemikir perorangan.
4.      Kumpulan ajaran mana saja yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta.
5.      Usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan, dan membenarkan secara konsisten dan berarti, keyakinan akan para dewa dan/atau Allah.[1]
Teologi bertumpu pada tiga hal, yaitu “pembicaraan”, “pengetahuan”, dan “kebenaran”. Ketiga matra ini tidaklah terpisahkan. Ketiganyalah yang menjadikan teologi sebagai sebuah disiplin ilmu tentang Tuhan yang berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Perbedaan ini sangatlah fundamental dan mendasar, karena, sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi mempunyai objeknya yang khas untuk dibicarakan, dan objek tersebut adalah sesuatu yang transendental (Tuhan). Karena ketransendentalannya, maka teologi, sebagai akibatnya, juga mempunyai status transendental dan menduduki posisi istimewa di antara ilmu-ilmu lain.[2]

      2.2.      Dosa besar

2.2.1.                  Aliran Khawarij

Kaum khawarij pada umunya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Mereka bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi,mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits mereka lakukan sesuai lafadznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka adalah iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatic.[3]Ciri yang menonjol dalam aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tidak mengherankan kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang pelaku dosa besar, dan penetapan siapa yang kafir dan beriman. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim terutama Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ary adalah kafir. Semua pelaku dosa besar (mutab al-Kabilah), menurut sekte-sekte Khawarij, kecuali an-Najdah adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Berikut pandangan beberapa sekte dalam aliran Khawarij tentang pelaku dosa besar, iman dan kufur:

2.2.2.                  Al-Muhakkimah

Golongan Khawarij asli dan awalnya adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, mereka beranggapan bahwa semua orang yang menyetujui arbitrase pada perang Shiffin, bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk didalamnya orang yang berbuat dosa besar.[4]
Berbuat zina di pandang salah satu dosa besar, maka menurut paham golongan ini orang yang mengerjakan zina telah menjadi kafir dan keluar dari Islam. Begitu pula membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar. Maka perbuatan membunuh manusia menjadikan si pembunuh keluar dari Islam dan menjadi kafir.[5]

2.2.3.                  Al-Azariqah

Paham mereka lebih ekstrim daripada paham sebelumnya, mereka meninggalkan term kafir menuju musyrik yang notabene dalam Islam lebih besar hukumnya daripada kafir.[6] Hukum musyrik mereka terapkan kepada orang-orang yang tidak sepaham dengannya, bahkan yang sepaham sekalipun tapi enggan untuk berhijrah ditempat mereka, dihukum dengan penghukuman yang sama.
Mereka mengkafirkan setiap orang yang tidak bertempur. Mereka adalah kelompok pertama yang mengeluarkan orang yang tidak ikut bertempur dari jajaran kaum muslimin. Sekalipun masih melaksanakan ajaran Islam. Mereka memperbolehkan membunuh anak-anak dan perempuan. Mereka tidak mengakui hukuman rajam terhadap para pezina, dengan alasan bahwa hukuman tersebut tidak tercantum dalam al-Qur’an. Dan mereka membebaskan hukuman cambuk dari orang yang menuduh lelaki berbuat zina, hukuman tersebut hanya dikenakan kepada penuduh yang menuduh perempuan berbuat zina.[7]
Pendapat mereka yang lain adalah anak orang musyrik bersama orang tuanya tempatnya di dalam Neraka. Allah boleh saja mengangkat seorang nabi yang Allah telah mengetahuinya akan menjadi orang yang kafir sesudah diangkat menjadi nabi. Dosa besar dan dosa kecil sekalipun tampaknya mendatangkan kebaikan terhitung perbuatan kufur. Orang yang berpendapat dosa besar dan dosa kecil dapat berlaku pada diri para nabi termasuk orang kafir.[8]
Inti dari ajaran al-Azariqah adalah orang yang melakukan dosa besar atau salah satu dosa besar hukumnya kafir, karenya di anggap keluar dari agama Islam dan kekal dalam Neraka bersama-sama orang kafir. Alasannya bahwa Iblis hanya sekali melakukan dosa besar, yakni ketika diperintahkan untuk sujud kepada Adam, dan Iblis enggan melakukannya.

2.2.4.                  Al-Najdat

Pemahaman mereka di bangun dari asumsi bahwa kafir (yang tidak sepaham dengan mereka) tempatnya di neraka dan mereka kekal didalamnya. Sementara pengikut mereka yang melakukan dosa besar betul akan melalui penyiksaan dalam neraka tetapi akan keluar dari neraka dan akan ditempatkan kelak di surga. Dosa kecil yang dikerjakan secara terus menerus akan menjadi dosa besar, dan pelakunya layak dihukum musyrik.
Yang dimaksud dengan orang-orang Islam di sini adalah pengikut-pengikut Najdah, selain mereka adalah kafir. Jika mereka mengerjakan sesuatu yang haram dan tidak mengetahui bahwa hal tersebut haram, maka mereka dapat dimaafkan.

2.2.5.                  Al-Sufriah

Sekte ini berpendapat, tidak boleh membunuh anak-anak kaum musyrik. Mereka membagi dosa besar pada dua bahagian, yaitu yang ada sangsinya di dunia dan yang tidak tetapi nanti di akhirat. Dosa besar yang ada sanksinya di dunia ialah membunuh dan berzina, sedangkan meningglakan shalat atau puasa masuk kategori ke dua, dan tidak di pandang kafir. Persoalan kufur di bagi menjadi dua, yaitu kufr bi inkar al-ni’mah (memngingkari nikmat Tuhan) dan ingkar alrububiyah (Mengingkari Tuhan). Dengan demikian kafir tidak harus di asosiasikan dengan istilah keluar dari Islam.[9]

2.2.6.                  Al-Ibadah

Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka tidak di hukum mukmin atau musyrik, tetapi kafir. Kepada yang demikian bisa di bangun relasi, termasuk perkawinan dan warisan, dan membunuh mereka adalah haram. Pelaku dosa besar di hukum muwahhid (meng-esa-kan Tuhan) tetapi tidak layak di katakana mukmin, karenanya perbuatan dosa besarnyapun tidak membuatnya keluar dari Islam.[10] Walaupun kafir hanya merupakan kafir al-ni’mah dan bukan kafir al-millah, yaitu kafir agama.

2.2.7.                  Aliran Murjiah

Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap paham teologi Khawarij. Pendapat tentang pelaku dosa besar tetap di hukum mukmin yang penyelesaiannya di tunda pada hari kiamat. Jadi, tampak bahwa pandangannya bertolak belakang dengan Khawarij. Jika Khawarij menekankan pada persolan siapa di antara orang Islam yang menjadi kafir, maka Murji’ah sebaliknya. Diskursus teologis mereka lebih terfokus pada masalah iman, yaitu siapa orang Islam yang masih mukmin dan tidak keluar dari Islam.
Pada umumnya kaum Murji’ah di bagi dalam dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum dalam Neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosanya, oleh karena itu tidak akan masuk Neraka sama sekali.[11]
Golongan ekstrim berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya dalam hati. Bahkan tidak menjadikannya kafir, sungguhpun mereka menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran agama Yahudi atau agama Kristen, dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada Trinitas, dan kemudian mati, orang yang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.[12]
Pendapat-pendapat ekstrim seperti di uraikan di atas timbul dari pengertian bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang.
Perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada di dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain. Selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan yang perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa seseorang tidak mempunyai iman. Yang penting ialah iman yang ada di dalam hatinya. Dengan demikian ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tidak merusak iman seseorang.

2.2.8.                  Aliran Mu’tazilah

Munculnya aliran Mu’tazilah dalam kancah pemikiran teologi Islam juga berkaitan dengan status pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. Yang membedakannya, Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar, Murji’ah cenderung menunda dan diserahkan pada yaumil hisab, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar apakah tetap mukmin atau telah kafir, mereka menyebut dalam paham mereka al-manzilah bain almanzilahtain.
Menurut Mu’tazilah, iman bukan hanya tasdiq dalam arti menerima sebagai suatu yang benar apa yang disampaikan oleh orang lain. Akan tetapi, iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tiuhan. Dengan kata lain, orang yang membenarkan (tasdiq) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, maka tidak dapat dikatakan mukmin. Tegasnya iman di sini tidak bermakna pasif yang hanya menerima apa yang dikatakan orang lain, akan tetapi iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan.[13]
Akal dan iman bagi Mu’tazilah tidak dapat dipisahkan. Seorang mukmin harus benar-benar mengetahui adanya Tuhan melalui pembuktian akalnya. Oleh karena itu, iman bagi Mu’tazilah tidak sekedar menyatakan bahwa wahyu yang di bawa Rasul benar (tasdiq). Mayoritas kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa iman itu mencakup ketaatan lahir dan bathin dengan mengerjakan semua yang wajib dan sunnat.[14]
Sementara sebahagian kecil dari kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa iman itu hanya terbatas pada perbutan yang wajib-wajib saja. Posisi amal menjadi sangat sentral dalam akidah mereka. Sehubungan dengan itu kaum Mu’tazilah tidak memandang pelaku dosa besar sebagai tetap mukmin, dalam arti iman menjauhi dosa besar. Selanjutnya dalam pemikiran Mu’tazilah memandang iman adalah ma’rifat yang dibarengi dengan amal shaleh dalam bentuk melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Amal bagi Mu’tazilah merupakan syarat sahnya iman.
Sementara kaum Murji’ah berpendapat bahwa iman itu hanyalah tasdiq bi al-lisan, sedangkan amal tidak merupakan bagian dan bukan cabang dari iman. Oleh karena itu, dalam pandangan Murji’ah orang yang mengucapkan syahadat saja, seperti orang munafik, tanpa disertai amal sudah sempurna imannya, atau ketika kaum Murji’ah telah mengucapkan syahadat, kemudian melakukan perzinahan, makan babi dan melakukan dosa besar lainnya, mereka itu tetap mukmin, karena perbuatan tidak menyebabkan iman dan kekufuran seseorang dapat bertambah dan berkurang.
Dengan demikian, golongan Mu’tazilah tidak sependapat dengan Murji’ah yang menekankan iman kepada tasdiq. Akan tetapi, mereka sependapat dengan Khawarij yang memandang amal berperan dalam menentukan mukmin atau kafirnya seseorang. Meskipun demikian, mereka berbeda dalam menetapkan posisi orang yang melakukan dosa besar, Khawarij menganggapnya kafir atau tidak lagi mukmin. Sedangkan bagi Mu’tazilah kafir ditujukan bagi orang-orang yang berhak menerima siksa berat di Neraka. Oleh karena itu, pelaku dosa besar tidaklah kafir, mereka tidak mendapat siksa berat di Neraka. Namun, karena bukan mukmin, juga tidak dapat dimasukkan ke Surga. Jadi tempatnya adalah di Neraka atas dasar keadilan, tetapi di dalam Neraka yang siksaannya lebih ringan.

2.2.9.                  Aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah

Term Ahlu Sunnah wal Jama’ah timbul sebagai reaksi terhadap faham golongan Mu’tazilah seperti telah diuraikan sebelumnya. Aliran ini di bawah oleh Abu Hasan al-Asy’ary[15] yang pada mulanya adalah penganut paham Mu’tazilah. Kemudian berbalik menentang ajaran Mu’tazilah karena memandang ajaran teologi Mu’tazilah tidak sejalan dengan karakteristik dan intelektuan mayoritas umat Islam pada saat itu.
Oleh karena itu, dalam masalah iman dan kufur, Asy’ary sangat berbeda secara diametal dengan Mu’tazilah. Di samping itu, kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan disebabkan karena kaum Mu’tazilah tidak percaya pada tradisi nabi dan para sahabat, akan tetapi mereka ragu akan keaslian hadishadis yang mengandung sunnah atau tradisi. Sehingga mereka dimasukkan pada golongan yang tidak berprgang teguh pada sunnah. Sehingga kaum Mu’tazilah selain sebagai golongan yang minoritas, juga merupakan golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah.
Kaum Mu’tazilah juga sangat mengangungkan akal pikiran atau rasionalitas manusia. Sehingga hal tersebut yang mungkin menyebabkan lahirnya term Ahlu Sunnah wal Jama’ah, yaitu golongan yang berpegang teguh pada sunnah sebagai antitesis dari ajaran Mu’tazilah. Selanjutnya pahamn Asy’ary yang dikembangkan adalah perbuatan-perbuatan manusia, bagi Asy’ary bukan diwujudkan oleh manusia itu sendiri, sebagaimana pendapat kaum Mu’tazilah, tetapi diciptakan oleh Tuhan.
Perbuatan kufur adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufur itu sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir itu tidak dapat diwujudkannya. Perbuatan iman bersifat baik, tetapi berat dan sulit. Orang mukmin ingin supaya perbuatan iman itu janganlah berat dan sulit, tetapi apa yang dikehendakinya itu tidak dapat diwujudkannya.[16]
Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan kufur itu bukanlah orang kafir yang tidak sanggup membuat kufur bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan Tuhan memang berkehendak supaya kufur bersifat buruk. Asy’aryah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa manusia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tasdiq.[17] Pendapat Ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah, tetapi dekat dengan kaum Jabariyah. Tasdiq menurut Asy’aryah di batasi pada Tuhan dan apa yang di bahwa oleh Rasul-Nya. Tasdiq merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah Allah.
Adapun ajaran al-Manzilah baina al-Manzilahtain di tolak oleh al-Asy’ary. Bagi al-Asy’ary orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya menjadikannya fasiq. Sekiranya orang yang berdosa besar bukanlah mukmin bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak di dapati kufur atau iman; dengan demikian bukan atheis dan bukan pula monotheis. Tidak mungkin bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir.[18]
Berbeda dengan tokoh lain dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah yakni al-Baqilani, Al-Baqilani membedakan antara iman dan Islam dengan mengatakan bahwa setiap mukmin adalah muslim tetapi tidak setiap muslim berarti mukmin. Sebagaimana firman Allah QS.Al-Hujurat (49): 14:
* ÏMs9$s% Ü>#{ôãF{$# $¨YtB#uä ( @è% öN©9 (#qãZÏB÷sè? `Å3»s9ur (#þqä9qè% $oYôJn=ór& $£Js9ur È@äzôtƒ ß`»yJƒM}$# Îû öNä3Î/qè=è% ( bÎ)ur (#qãèÏÜè? ©!$# ¼ã&s!qßuur Ÿw Nä3÷GÎ=tƒ ô`ÏiB öNä3Î=»yJôãr& $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊÍÈ  
14. orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Iman adalah manifestasi dari Islam. Sebagaimana telah diisyaratkan pada ayat tersebutAllah tidak memandang orangorang Badui beriman, meskipun mereka telah mengaku beriman, padahal sesungguhnya mereka baru Islam. Al-Baqilani menjelaskan pembagian iman dan kafir dengan membagi kafir kepada tiga macam, pertama:kafir I’tiqadi, kafir semacam itu tempatnya dihati. Seperti meniadakan sifat-sifat Allah, dan orang yang berkeyakinan bahwa Allah itu nur dalam pengertian cahaya atau sinar, atau roh, atau Jism, yang duduk di atas ‘arasy. Kedua: kafir fi’li, seperti melemparkan al-Qur’an kedalam kotoran. Ketiga: kafir qauli, seperti menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, baik zat, sifat, maupun perbuatan.
Termasuk juga dalam golongan ini adalah orang-orang yang mendustakan isi kandungan al-Qur’an, atau ajaran nabi Muhammad, seperti mengatakan Surga dan Neraka itu lenyap, surga bukan kesenangan jasmaniah dan Neraka adalah siksaan ma’nawiyah atau abstrak. Demikian juga orang yang mengingkari kebangkitan jasad dan roh di akhirat, mengingkari kewajiban shalat, puasa dan zakat, mengharamkan talak dan menghalalkan khamar. Kafir yang paling berat adalah orang yang mengingkari Allah. Pembagian kafir di atas menunjukkan bahwa dalam konsep iman yang dikemukakan al-Baqilani, amal tetap dipentingkan sebab menurutnya perbuatan dapat membawa kepada kekafiran. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa amal tidak lepas dari iman. Dan orang yang termasuk dalam ketiga macam kafir tersebut di atas adalah orang-orang yang sia-sia kebaikannya.
Senada dengan pendapat al-Asy’ary, al-Maturidi (tokoh lain dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah) juga menolak paham Mu’tazilah tentang dosa besar. Al- Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Al-Maturidi juga menolak ajaran al-Manzilah baina al- Manzilahtain.[19]
Sesungguhnya orang Mukmin tidak akan kekal di Neraka. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai siapa orang mukmin yang tidak akan kekal di Neraka. Khawarij menganggap orang yang berdosa besar dan dosa kecil sebagai orang kafir. Dalam pandangan mereka, tidak di akui muslim maupun mukmin. Mu’tazilah mengatakan bahwa pelaku dosa besar tidak di akui sebagai seorang mukmin, sekalipun masih di akui sebagai seorang muslim. Hanya saja, akan kekal dalam Neraka selama belum bertaubat dengan taubat yang sebenarnya, dan siksanya lebih ringan dibandingkan dengan siksa orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasu-Nya.
Kelihatannya, kaum Khawarij dan Mu’tazilah memasukkan amal sebagai salah satu komponen iman. Sedangkan Asy’aryah dan Maturidiyah tidak menganggap amal sebagai salah satu komponennya. Oleh karena itu, orang yang melakukan tidak keluar dari iman, sekalipun amalnya tetap dihisab dan tetap akan mendapat siksa, dan Allah dapat saja memberikan Syafaat kepadanya. Hal inilah yang menyebabkan al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di Neraka, sekalipun meninggal dunia tanpa bertaubat. Firman Allah QS. Al-An’am (6):160
`tB uä!%y` ÏpuZ|¡ptø:$$Î/ ¼ã&s#sù çŽô³tã $ygÏ9$sWøBr& ( `tBur uä!%y` Ïpy¥ÍhŠ¡¡9$$Î/ Ÿxsù #tøgä žwÎ) $ygn=÷WÏB öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÊÏÉÈ  
160. Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang tidak mengingkari Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, dosanya berada di bawah dosa orang kafir dan orang musyrik. Allah telah menetapkan kekekalan dalam neraka sebagai siksaan bagi kemusyrikan dan kekufuran. Maka sekiranya pelaku dosa besar disiksa sebagai mana siksaan terhadap orang kafir, padahal mereka beriman, niscaya hukumannya itu melebihi kadar dosanya.

      2.3.      Perbuatan-Perbuatan Tuhan

   2.3.1.  Kewajiban Tuhan terhadap Manusia

Kaum mu’tazillah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban itu dapat disimpulkan dalam 1 kewajiban, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dalam faham ini termasuklah kewajiban-kewajiban seperti kewajiban tuhan menepati janjinya, kewajiban Tuhan mengirim rasul-rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia, kewajiban Tuhan memberi rezeki kepada manusia dan sebagainya. Faham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban timbul sebagai akibat dari konsep mu’tazilah tentang keadilan tuhan dan berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Bagi kaum asy’ariyah, faham tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat di terima, karena hal itu bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut. Faham mereka bahwa tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap makhluknya mengandung arti bahwa tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa. Sebagai kata al-ghazali perbuatan-perbuatan tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak satupun dari padanya yang mempunyai sifat wajib.
Kaum maturidiah golongan Bukhara sefaham dengan kaum asy’ariyah tentang tidak adanya kewajiban bagi tuhan. Golongan Samarkand, memberi batasan-batasan kepada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan dan demikian dapat menerima faham adanya kewajiban-kewajiban bagi tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.

   2.3.2.  Berbuat Baik Dan Terbaik

Term ini dalam teologi islam terkenal sebagai term mutazilah dan yang dimaksud adalah kewajiban tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan yang penting bagi kaum mu’tazilah.
Bagi kaum asy’ariyah jelas bahwa paham ini tak dapat diterima, karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan oleh Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.[20]
Kaum maturidiah dengan kedua golongannya juga tidak sefaham dengan kaum mu’tazilah dalam hal ini.

   2.3.3.  Beban Diluar Kemampuan Manusia

Memberi beban diluar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Oleh karena itu kaum Mu’tazilah tidak menerima faham bahwa tuhan dapat memberi manusia beban yan tidak dapat dipikul dan bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan dimana tuhan akan bersifat tidak adil jika memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.
Kaum Asy’ariah percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan, dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul manusia. Al-Ghazali mengatakan demikian juga dalam al-Iqtisad. Mereka percaya perbuatan manusia pada hakekatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan dan bukan dengan daya manusia. Manusia masih akan dapat melaksanakan beban yang tak terpikul, karena yang mewujudkan perbuatan manusia sebenarnya bukanlah manusia, tetapi Tuhan.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara hampir sependapat denga kaum Asy’ariah dalam soal kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dimana dalam hal daya Tuhan yang tak terbataslah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. Oleh karena itu faham taklif ma la yutaq dapat mereka terima.
Golongan Samarkand lebih mendekati Mu’tazilah yang memiliki faham bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan  perbuatan-perbuatannya dan bukan Tuhan

   2.3.4.  Pengiriman Rasul-Rasul

Bagi kaum Mu’tazilah  akal dapat mengetahui hal-hal tentang alam gaib, pengiriman Rasul-rasul sebenarnya tidak begitu penting dimana mereka menganggap wahyu bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa-apa yang telah diketahui manusia melalui akalnya. Pengiriman rasul-rasul bersifat wajib bagi kaum Mu’tazilah karena keadaan akal tidak dapat mengetahui segala apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan untuk rasul-rasul kepada umat manusia.
Berbeda dengan kaum Mu’tazilah, kaum Asy’ariah lebih banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam ghaib, bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan  dengan kehidupan manusia. Pengiriman rasul-rasul dalam teologi mereka tidaklah wajib seperti menurut Mu’tazilah karena Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia.
Sekiranya Tuhan tidak mengutus rasul-rasul kepada umat manusia,hidup mereka akan mengalami kekacauan, karena tanpa wahyu manusia tidak akan dapat memperbedakan perbuatan baik dan perbuatan buruk

   2.3.5.  Janji Dan Ancaman

Dalam perbuatan-perbuatan Tuhan termasuk perbuatan menepati janji dan menjalankan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id). Janji dan aancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan kaum Mu’tazilah yang berkaitan hubungannya dengan keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil, jika ia tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, dan ancaman untuk memberikan hukuman kepada orang yang berbuat jahat, hal ini akan membuat Tuhan mempunyai sifat berdusta[21]. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
Bagi kaum Asy’ariah faham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan keyakinan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-Quran dan Hadis. Tetapi dalam al-Qur’an dengan tegas dikatakan bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka.
Untuk mengatasinya, kata-kata Arab yang menggambarkan arti siapa, oleh al-Asy’ari sendiri “bukan semua orang, tetapi sebagian[22]. Dengan demikian kata “siapa” dalam ayat  “Barang siapa menelan harta yatim piatu dengan cara tidak adil, maka ia sebenarnya menelan api masuk ke dalam perutnya”[23] mengandung arti bukan seluruh tetapi sebahagian orang yang menelan harta yatim piatu. Yang sebagian akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara dalam pendapat mereka yang dijelaskan oleh al-Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat[24] Oleh karena itu nasib orang yang berbuat dosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk memberi ampun kepada orang yang berdosa, Tuhan akan memasukkannya bukan ke dalam neraka, tetapi ke dalam surga, dan jika ia berkehendak untuk memberi hukuman kepadanya Tuhan akan memasukkannya kedalam neraka untuk sementara tau selama-lamanya.
Dari sini dapat diketahui bahwa menurut faham al-Bazdawi kekuasaan dan kehendak Tuhan tidaklah betul-betul mutlak seperti yang dianut oleh kaum Asy’ariah. Bagi kaum Asy’ariah, Tuhan boleh saja melanggar janji-janjinya. Bagi Maturidiah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik.
Golongan Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang sama dengan kaum Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa pahala dan hukuman Tuhan tak boleh tidak mesti terjadi kelak.

      2.4.      Perbuatan Manusia

Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang di lakukan oleh kelompokjabariyah (pengikut ja’d bin dirham dan jahm bin safwan ) dan kelompok qadariyah (pengikut ma’bad Al-Juhani dan ghailan ad-dimwyaqi), yang kemudian di lanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, asy ‘ariyah dan muturidiyah
Akar masalah pebuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak, dari sini timbulah pernyataan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung kepada kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya?

2.4.1.                 Aliran jabariyah

Tampaknya ada perbedaan pandangan antara jabariyah ekstrim dan jabariah moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang di laksanakan atas dirinya. Minsalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatnya mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demkian.5 Bahkan, jahm bin shafwan, salah seorang tokoh Jabariyah ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa.
Adapun Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan peranan di dalamnya. Tenaga yang di ciptakan di dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang di maksud dengan kasab (acquisition). Menurut paham kasab manusia tidaklah majbur (di paksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang kehendaki oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang di ciptakan Tuhan.

2.4.2.                 Aliran qadariyah

Aliran qadariah menyatakan bahwa tingkah laku manusia di lakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunya kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala kebaikan yang di lakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang di perbuatnya. Dalam kaitan ini bila seseorang di beri ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat.
Paham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertiah takdir yang umum di pakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Menurut bangsa arab, dalam perbuatan-perbuatanya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan semenjak ajal terhadap dirinya adapun paham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang di ciptakannya untuk alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang di dalam isitlah Al-Qur’an adalah sunatullah.6
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak adala alasan yang dapat menyadarkan segala perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunya tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendukung pendapat ini, minsalnya dalam surat Al-Kahfi ayat 29.

2.4.3.                 Aliran Mu’tazilah7

Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempnyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, mu’tazlah menganut faham Qadariyah atau free will. Menurut al-juba’i dan abd al-jubraa, manusialah yag menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk. KepaTuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-sititha’ah) untuk mewujudkan kehhendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Perbuatan manusia bukanlah di ciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga beasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbutan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?
Dengan faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukanya, kalangan Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azalai Allah yang mengetahui segala apa yang membedakannya dari penganut qadariyah murni.
Aliran Mu’tazilah mengemukakakn argumentasi rasional berikut ini.
a.       Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan menusia sendiri tidak mempnyai perbuatan, batAllah taklif syar’i. Hal ini karena syariat adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalab. Tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.
b.      Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman). Hal ini karena perbuatan ini menjaditidak dapat di sandarkan kepadanya secara mutlak sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan.
c.       Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama sekali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah harus dibarengi kebebasan pilihan?
Konsekuensi lain dari faham di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam penentuan ajal kerena ajal itu ada dua macam, pertama, adalah al-ajal ath-thabi’i ajal inilah yang di pandangMu’tazilah sebagai kekuasaanmutlakTuhan untuk menentukannya. Adapun jenis yang kedua adalah ajal yang dibikin manusia itu sendiri, minsalnya membunuh seseorang atau bunuh diri di tiang gantungan, atau minum racun. Ajal yang ini dapat dipercepat dan diperlambat.

2.4.4.                 Aliran asy’ariyah

Dalam faham asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia di ibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hudipnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah dari pada dengan faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan daasar pijakannya, asy’ari, pendiri aliran asy’ariyah, memakai teori al-kasb (acquistion, perolehan). Teori al-kasb asy’ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantraan daya yang di ciptakan, sehingga terjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan kaktifan, sehingga mansia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Pada prinsipnya, aliran asy’ariyah perpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempnyai efek untuk mewujudkannya. Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakanperbuatan untuk manusia dan menciptakan pulah-pada dirimanusia-daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan deya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.

2.4.5.                 Aliran maturidiyah

Ada perbedataan antara maturidiyahsamarkand dan maruridiyah bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faha Mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham asy’ariyah. Kehedak dan daya berbuat pad diri manusia, menurut maturidiyah samarkand, adalahkehendak dan daya manusia dalam arrti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian porsinya lebih kecil dari pada daya yang terdapat dalam fahamMu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham al-marturidi, tidaklah sebebas manusia dalam Mu’tazilah.
Mutidyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan maturidiyah samarkand. Hanya saja golongan ini memberkan tambahan dalam masalah daya. Munurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan tuahn baginya.



[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, Cet. Ke-4, 2005), hlm. 1090.
[2] Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 5.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:UI Press, 1986) hlm 13.
[4] Ibid, hlm 14
[5] Ibid
[6] Ibid
[7]Aswadie Syukur. Al-Milal wa al-Nihal:Aliran-aliran Teologi dalamSejarah Umat Islam (terj). (Surabaya: Bina Ilmu, tth), h.107
[8] Ibid 108
[9] Muhammad Amri. Khazanah PemikiranIlmu Kalam. (Cet. I; Solo: Zadahaniva, 2011), h.12-13
[10] Ibid
[11] Harun Nasution. op.cit, h. 25
[12] Ibid hlm.26
[13] Harun Nasution. op.cit., h. 147
[14] Ilhamuddin. Pemikiran Kalam al-Baqilani:Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan al-Asy”ary. (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 126-127
[15] Harun Nasution.op.cit., h. 68
[16] Ibid., h. 70
[17] Ibid., h. 147-148
[18] 31Harun Nasution. op.cit., h. 71
[19] Harun Nasution. op.cit., h. 77
[20] Ibid. hal.129
[21] Al-Usul, 135
[22] Al-Luma’, 77 dst.
[23] An-Nisa,(4)-10
[24] Usul al-Din,131                                                        

Comments

Popular posts from this blog

Metode Pemahaman Hadits

Klasifikasi Hadits

Dalil kehujjahan Sunnah