Perbuatan Tuhan
Perbuaan Manusia dan Perbuatan Tuhan
2.1.
Pengertian Teologi dan
Sejarah Perkembangannya
Teologi lazim dipahami secara umum sebagai “ilmu
tentang ke-Tuhan-an”, sebab dilihat dari akar katanya, berasal dari theos (Tuhan)
dan logos (ilmu, pengetahuan). Teologi dengan demikian, berbicara
tentang Tuhan. Tidak ada teologi tanpa Tuhan.
Teologi terkait dengan “Tuhan” dan “pengetahuan” itu
sendiri, maka dapatlah disimpulkan bahwa teologi adalah:
1. Ilmu tentang hubungan dunia ilahi (atau ideal, atau
kekal tak berubah) dengan dunia fisik.
2. Ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah (atau
para dewa).
3. Doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah
(atau para dewa) dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu dari para pemikir
perorangan.
4. Kumpulan ajaran mana saja yang disusun secara koheren
menyangkut hakikat Allah dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta.
5. Usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan, dan
membenarkan secara konsisten dan berarti, keyakinan akan para dewa dan/atau
Allah.[1]
Teologi
bertumpu pada tiga hal, yaitu “pembicaraan”, “pengetahuan”, dan “kebenaran”.
Ketiga matra ini tidaklah terpisahkan. Ketiganyalah yang menjadikan teologi
sebagai sebuah disiplin ilmu tentang Tuhan yang berbeda dengan ilmu-ilmu
lainnya. Perbedaan ini sangatlah fundamental dan mendasar, karena, sebagai
sebuah disiplin ilmu, teologi mempunyai objeknya yang khas untuk dibicarakan,
dan objek tersebut adalah sesuatu yang transendental (Tuhan). Karena
ketransendentalannya, maka teologi, sebagai akibatnya, juga mempunyai status
transendental dan menduduki posisi istimewa di antara ilmu-ilmu lain.[2]
2.2.
Dosa besar
2.2.1.
Aliran Khawarij
Kaum
khawarij pada umunya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang
pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan
pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak
bergantung pada orang lain. Mereka bersikap bengis, suka kekerasan dan tak
gentar mati. Sebagai orang Badawi,mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan.
Ajaran islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits mereka lakukan sesuai
lafadznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka adalah iman dan paham orang yang
sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatic.[3]Ciri
yang menonjol dalam aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Tidak mengherankan kalau aliran ini memiliki
pandangan ekstrim
pula tentang pelaku dosa besar, dan penetapan siapa yang kafir dan beriman.
Mereka memandang
bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim terutama Ali, Mu’awiyah,
Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ary adalah kafir. Semua pelaku dosa besar
(mutab al-Kabilah), menurut sekte-sekte Khawarij, kecuali an-Najdah adalah
kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Berikut pandangan beberapa sekte
dalam aliran Khawarij tentang pelaku dosa besar, iman dan kufur:
2.2.2.
Al-Muhakkimah
Golongan
Khawarij asli dan awalnya adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, mereka beranggapan
bahwa semua orang yang menyetujui arbitrase pada perang Shiffin, bersalah dan
menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga
termasuk didalamnya orang yang berbuat dosa besar.[4]
Berbuat
zina di pandang salah satu dosa besar, maka menurut paham golongan ini orang
yang mengerjakan zina telah menjadi kafir dan keluar dari Islam. Begitu pula
membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar. Maka perbuatan
membunuh manusia menjadikan si pembunuh keluar dari Islam dan menjadi kafir.[5]
2.2.3.
Al-Azariqah
Paham
mereka lebih ekstrim daripada paham sebelumnya, mereka meninggalkan term kafir
menuju musyrik yang notabene dalam Islam lebih besar hukumnya daripada kafir.[6]
Hukum musyrik mereka terapkan kepada orang-orang yang tidak sepaham dengannya,
bahkan yang sepaham sekalipun tapi enggan untuk berhijrah ditempat mereka,
dihukum dengan penghukuman yang sama.
Mereka
mengkafirkan setiap orang yang tidak bertempur. Mereka adalah kelompok pertama
yang mengeluarkan orang yang tidak ikut bertempur dari jajaran kaum muslimin.
Sekalipun masih melaksanakan ajaran Islam. Mereka memperbolehkan membunuh
anak-anak dan perempuan. Mereka tidak mengakui hukuman rajam terhadap para pezina,
dengan alasan bahwa hukuman tersebut tidak tercantum dalam al-Qur’an. Dan
mereka membebaskan hukuman cambuk dari orang yang menuduh lelaki berbuat zina,
hukuman tersebut hanya dikenakan kepada penuduh yang menuduh perempuan berbuat
zina.[7]
Pendapat
mereka yang lain adalah anak orang musyrik bersama orang tuanya tempatnya di
dalam Neraka. Allah boleh saja mengangkat seorang nabi yang Allah telah
mengetahuinya akan menjadi orang yang kafir sesudah diangkat menjadi nabi. Dosa
besar dan dosa kecil sekalipun tampaknya mendatangkan kebaikan terhitung
perbuatan kufur. Orang yang berpendapat dosa besar dan dosa kecil dapat berlaku
pada diri para nabi termasuk orang kafir.[8]
Inti
dari ajaran al-Azariqah adalah orang yang melakukan dosa besar atau salah satu
dosa besar hukumnya kafir, karenya di anggap keluar dari agama Islam dan kekal
dalam Neraka bersama-sama orang kafir. Alasannya bahwa Iblis hanya sekali
melakukan dosa besar, yakni ketika diperintahkan untuk sujud kepada Adam, dan
Iblis enggan melakukannya.
2.2.4.
Al-Najdat
Pemahaman
mereka di bangun dari asumsi bahwa kafir (yang tidak sepaham dengan mereka)
tempatnya di neraka dan mereka kekal didalamnya. Sementara pengikut mereka yang
melakukan dosa besar betul akan melalui penyiksaan dalam neraka tetapi akan
keluar dari neraka dan akan ditempatkan kelak di surga. Dosa kecil yang dikerjakan secara terus
menerus akan menjadi dosa besar, dan pelakunya layak dihukum musyrik.
Yang
dimaksud dengan orang-orang Islam di sini adalah pengikut-pengikut Najdah,
selain mereka adalah kafir. Jika mereka mengerjakan sesuatu yang haram dan
tidak mengetahui bahwa hal tersebut haram, maka mereka dapat dimaafkan.
2.2.5.
Al-Sufriah
Sekte
ini berpendapat, tidak boleh membunuh anak-anak kaum musyrik. Mereka membagi
dosa besar pada dua bahagian, yaitu yang ada sangsinya di dunia dan yang tidak
tetapi nanti di akhirat. Dosa besar yang ada sanksinya di dunia ialah membunuh
dan berzina, sedangkan meningglakan shalat atau puasa masuk kategori ke dua,
dan tidak di pandang kafir. Persoalan kufur di bagi menjadi dua, yaitu kufr bi
inkar al-ni’mah (memngingkari nikmat Tuhan) dan ingkar alrububiyah (Mengingkari
Tuhan). Dengan demikian kafir tidak harus di asosiasikan dengan istilah keluar
dari Islam.[9]
2.2.6.
Al-Ibadah
Orang
Islam yang tidak sepaham dengan mereka tidak di hukum mukmin atau musyrik,
tetapi kafir. Kepada yang demikian bisa di bangun relasi, termasuk perkawinan
dan warisan, dan membunuh mereka adalah haram. Pelaku dosa besar di hukum
muwahhid (meng-esa-kan Tuhan) tetapi tidak layak di katakana mukmin, karenanya
perbuatan dosa besarnyapun tidak membuatnya keluar dari Islam.[10]
Walaupun kafir hanya merupakan kafir al-ni’mah dan bukan kafir al-millah, yaitu
kafir agama.
2.2.7.
Aliran Murjiah
Aliran
ini muncul sebagai reaksi terhadap paham teologi Khawarij. Pendapat tentang
pelaku dosa besar tetap di hukum mukmin yang penyelesaiannya di tunda pada hari
kiamat. Jadi, tampak bahwa pandangannya bertolak belakang dengan Khawarij. Jika
Khawarij menekankan pada persolan siapa di antara orang Islam yang menjadi
kafir, maka Murji’ah sebaliknya. Diskursus teologis mereka lebih terfokus pada
masalah iman, yaitu siapa orang Islam yang masih mukmin dan tidak keluar dari
Islam.
Pada
umumnya kaum Murji’ah di bagi dalam dua golongan besar, golongan moderat dan
golongan ekstrim. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum dalam Neraka sesuai dengan besarnya dosa
yang dilakukannya, dan kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosanya, oleh karena
itu tidak akan masuk Neraka sama sekali.[11]
Golongan
ekstrim berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian
menyatakan kekufurannya secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan
kufur tempatnya hanya dalam hati. Bahkan tidak menjadikannya kafir, sungguhpun
mereka menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran agama Yahudi atau agama Kristen, dengan
menyembah salib, menyatakan percaya pada Trinitas, dan kemudian mati, orang
yang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.[12]
Pendapat-pendapat
ekstrim seperti di uraikan di atas timbul dari pengertian bahwa perbuatan atau
amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa
hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya
seseorang.
Perbuatan-perbuatan
tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati dan apa yang
ada di dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain. Selanjutnya
perbuatan-perbuatan manusia tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam
hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan yang perbuatan-perbuatan seseorang tidak
mesti mengandung arti bahwa seseorang tidak mempunyai iman. Yang penting ialah
iman yang ada di dalam hatinya. Dengan demikian ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tidak merusak
iman seseorang.
2.2.8.
Aliran Mu’tazilah
Munculnya
aliran Mu’tazilah dalam kancah pemikiran teologi Islam juga berkaitan dengan
status pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. Yang
membedakannya, Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar, Murji’ah cenderung
menunda dan diserahkan pada yaumil hisab, Mu’tazilah tidak menentukan status
dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar apakah tetap mukmin atau telah
kafir, mereka menyebut dalam paham mereka al-manzilah bain almanzilahtain.
Menurut
Mu’tazilah, iman bukan hanya tasdiq dalam arti menerima sebagai suatu yang
benar apa yang disampaikan oleh orang lain. Akan tetapi, iman adalah pelaksanaan
kewajiban-kewajiban kepada Tiuhan. Dengan kata lain, orang yang membenarkan
(tasdiq) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya,
tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, maka tidak dapat dikatakan
mukmin. Tegasnya iman di sini tidak bermakna pasif yang hanya menerima apa yang
dikatakan orang lain, akan tetapi iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui
kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan.[13]
Akal
dan iman bagi Mu’tazilah tidak dapat dipisahkan. Seorang mukmin harus benar-benar
mengetahui adanya Tuhan melalui pembuktian akalnya. Oleh karena itu, iman bagi
Mu’tazilah tidak sekedar menyatakan bahwa wahyu yang di bawa Rasul benar
(tasdiq). Mayoritas kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa iman itu mencakup
ketaatan lahir dan bathin dengan mengerjakan semua yang wajib dan sunnat.[14]
Sementara
sebahagian kecil dari kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa iman itu hanya
terbatas pada perbutan yang wajib-wajib saja. Posisi amal menjadi sangat
sentral dalam akidah mereka. Sehubungan dengan itu kaum Mu’tazilah tidak
memandang pelaku dosa besar sebagai tetap mukmin, dalam arti iman menjauhi dosa
besar. Selanjutnya dalam pemikiran Mu’tazilah memandang iman adalah ma’rifat
yang dibarengi dengan amal shaleh dalam bentuk melaksanakan semua perintah-Nya
dan menjauhi semua larangan-Nya. Amal bagi Mu’tazilah merupakan syarat sahnya
iman.
Sementara
kaum Murji’ah berpendapat bahwa iman itu hanyalah tasdiq bi al-lisan, sedangkan
amal tidak merupakan bagian dan bukan cabang dari iman. Oleh karena itu, dalam pandangan
Murji’ah orang yang mengucapkan syahadat saja, seperti orang munafik, tanpa
disertai amal sudah sempurna imannya, atau ketika kaum Murji’ah telah
mengucapkan syahadat, kemudian melakukan perzinahan, makan babi dan melakukan
dosa besar lainnya, mereka itu tetap mukmin, karena perbuatan tidak menyebabkan
iman dan kekufuran seseorang dapat bertambah dan berkurang.
Dengan
demikian, golongan Mu’tazilah tidak sependapat dengan Murji’ah yang menekankan
iman kepada tasdiq. Akan tetapi, mereka sependapat dengan Khawarij yang
memandang amal berperan dalam menentukan mukmin atau kafirnya seseorang.
Meskipun demikian, mereka berbeda dalam menetapkan posisi orang yang melakukan
dosa besar, Khawarij menganggapnya kafir atau tidak lagi mukmin. Sedangkan bagi
Mu’tazilah kafir ditujukan bagi orang-orang yang berhak menerima siksa berat di
Neraka. Oleh karena itu, pelaku dosa besar tidaklah kafir, mereka tidak
mendapat siksa berat di Neraka. Namun, karena bukan mukmin, juga tidak dapat dimasukkan
ke Surga. Jadi tempatnya adalah di Neraka atas dasar keadilan, tetapi di dalam
Neraka yang siksaannya lebih ringan.
2.2.9.
Aliran Ahlu Sunnah wal
Jama’ah
Term
Ahlu Sunnah wal Jama’ah timbul sebagai reaksi terhadap faham golongan
Mu’tazilah seperti telah diuraikan sebelumnya. Aliran ini di bawah oleh Abu
Hasan al-Asy’ary[15]
yang pada mulanya adalah penganut paham Mu’tazilah. Kemudian berbalik menentang
ajaran Mu’tazilah karena memandang ajaran teologi Mu’tazilah tidak sejalan dengan
karakteristik dan intelektuan mayoritas umat Islam pada saat itu.
Oleh
karena itu, dalam masalah iman dan kufur, Asy’ary sangat berbeda secara
diametal dengan Mu’tazilah. Di samping itu, kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak
berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan disebabkan karena kaum Mu’tazilah
tidak percaya pada tradisi nabi dan para sahabat, akan tetapi mereka ragu akan
keaslian hadishadis yang mengandung sunnah atau tradisi. Sehingga mereka
dimasukkan pada golongan yang tidak berprgang teguh pada sunnah. Sehingga kaum
Mu’tazilah selain sebagai golongan yang minoritas, juga merupakan golongan yang
tidak berpegang teguh pada sunnah.
Kaum
Mu’tazilah juga sangat mengangungkan akal pikiran atau rasionalitas manusia. Sehingga
hal tersebut yang mungkin menyebabkan lahirnya term Ahlu Sunnah wal Jama’ah,
yaitu golongan yang berpegang teguh pada sunnah sebagai antitesis dari ajaran
Mu’tazilah. Selanjutnya pahamn Asy’ary yang dikembangkan adalah
perbuatan-perbuatan manusia, bagi Asy’ary bukan diwujudkan oleh manusia itu
sendiri, sebagaimana pendapat kaum Mu’tazilah, tetapi diciptakan oleh Tuhan.
Perbuatan
kufur adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufur itu sebenarnya
bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir itu tidak dapat diwujudkannya. Perbuatan
iman bersifat baik, tetapi berat dan sulit. Orang mukmin ingin supaya perbuatan
iman itu janganlah berat dan sulit, tetapi apa yang dikehendakinya itu tidak
dapat diwujudkannya.[16]
Dengan
demikian yang mewujudkan perbuatan kufur itu bukanlah orang kafir yang tidak
sanggup membuat kufur bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan
Tuhan memang berkehendak supaya kufur bersifat buruk. Asy’aryah berpendapat
bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat
mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa manusia berkewajiban mengetahui
Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu,
iman bagi mereka adalah tasdiq.[17]
Pendapat Ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah, tetapi dekat dengan
kaum Jabariyah. Tasdiq menurut Asy’aryah di batasi pada Tuhan dan apa yang di
bahwa oleh Rasul-Nya. Tasdiq merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah
Allah.
Adapun
ajaran al-Manzilah baina al-Manzilahtain di tolak oleh al-Asy’ary. Bagi
al-Asy’ary orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi
karena dosa besar yang dilakukannya menjadikannya fasiq. Sekiranya orang yang
berdosa besar bukanlah mukmin bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak
di dapati kufur atau iman; dengan demikian bukan atheis dan bukan pula
monotheis. Tidak mungkin bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan
pula kafir.[18]
Berbeda
dengan tokoh lain dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah yakni al-Baqilani, Al-Baqilani
membedakan antara iman dan Islam dengan mengatakan bahwa setiap mukmin adalah
muslim tetapi tidak setiap muslim berarti mukmin. Sebagaimana firman Allah QS.Al-Hujurat
(49): 14:
* ÏMs9$s%
Ü>#{ôãF{$#
$¨YtB#uä
( @è%
öN©9
(#qãZÏB÷sè?
`Å3»s9ur
(#þqä9qè%
$oYôJn=ó™r&
$£Js9ur
È@äzô‰tƒ
ß`»yJƒM}$#
’Îû
öNä3Î/qè=è%
( bÎ)ur
(#qãè‹ÏÜè?
©!$#
¼ã&s!qß™u‘ur
Ÿw Nä3÷GÎ=tƒ
ô`ÏiB
öNä3Î=»yJôãr&
$º«ø‹x©
4 ¨bÎ)
©!$#
Ö‘qàÿxî
îLìÏm§‘
ÇÊÍÈ
14. orang-orang Arab Badui itu berkata:
"Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi
Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu;
dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."
Iman
adalah manifestasi dari Islam. Sebagaimana telah diisyaratkan pada ayat tersebutAllah
tidak memandang orangorang Badui beriman, meskipun mereka telah mengaku
beriman, padahal sesungguhnya mereka baru Islam. Al-Baqilani menjelaskan
pembagian iman dan kafir dengan membagi kafir kepada tiga macam, pertama:kafir I’tiqadi,
kafir semacam itu tempatnya dihati. Seperti meniadakan sifat-sifat Allah, dan
orang yang berkeyakinan bahwa Allah itu nur dalam pengertian cahaya atau sinar,
atau roh, atau Jism, yang duduk di atas ‘arasy. Kedua: kafir fi’li, seperti
melemparkan al-Qur’an kedalam kotoran. Ketiga: kafir qauli, seperti
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, baik zat, sifat, maupun perbuatan.
Termasuk
juga dalam golongan ini adalah orang-orang yang mendustakan isi kandungan
al-Qur’an, atau ajaran nabi Muhammad, seperti mengatakan Surga dan Neraka itu
lenyap, surga bukan kesenangan jasmaniah dan Neraka adalah siksaan ma’nawiyah
atau abstrak. Demikian juga orang yang mengingkari kebangkitan jasad dan roh di
akhirat, mengingkari kewajiban shalat, puasa dan zakat, mengharamkan talak dan
menghalalkan khamar. Kafir yang paling berat adalah orang yang mengingkari
Allah. Pembagian kafir di atas menunjukkan bahwa dalam konsep iman yang dikemukakan
al-Baqilani, amal tetap dipentingkan sebab menurutnya perbuatan dapat membawa
kepada kekafiran. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa amal tidak lepas dari
iman. Dan orang yang termasuk dalam ketiga macam kafir tersebut di atas adalah
orang-orang yang sia-sia kebaikannya.
Senada
dengan pendapat al-Asy’ary, al-Maturidi (tokoh lain dari Ahlu Sunnah wal
Jama’ah) juga menolak paham Mu’tazilah tentang dosa besar. Al- Maturidi
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa
besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Al-Maturidi juga menolak
ajaran al-Manzilah baina al- Manzilahtain.[19]
Sesungguhnya
orang Mukmin tidak akan kekal di Neraka. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai
siapa orang mukmin yang tidak akan kekal di Neraka. Khawarij menganggap orang
yang berdosa besar dan dosa kecil sebagai orang kafir. Dalam pandangan mereka,
tidak di akui muslim maupun mukmin. Mu’tazilah mengatakan bahwa pelaku dosa
besar tidak di akui sebagai seorang mukmin, sekalipun masih di akui sebagai
seorang muslim. Hanya saja, akan kekal dalam Neraka selama belum bertaubat
dengan taubat yang sebenarnya, dan siksanya lebih ringan dibandingkan dengan
siksa orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasu-Nya.
Kelihatannya,
kaum Khawarij dan Mu’tazilah memasukkan amal sebagai salah satu komponen iman.
Sedangkan Asy’aryah dan Maturidiyah tidak menganggap amal sebagai salah satu
komponennya. Oleh karena itu, orang yang melakukan tidak keluar dari iman,
sekalipun amalnya tetap dihisab dan tetap akan mendapat siksa, dan Allah dapat
saja memberikan Syafaat kepadanya. Hal inilah yang menyebabkan al-Maturidi berpendapat
bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di Neraka, sekalipun meninggal dunia tanpa
bertaubat. Firman Allah QS. Al-An’am (6):160
`tB
uä!%y`
ÏpuZ|¡ptø:$$Î/
¼ã&s#sù
çŽô³tã
$ygÏ9$sWøBr&
( `tBur
uä!%y`
Ïpy¥ÍhŠ¡¡9$$Î/
Ÿxsù
#“t“øgä†
žwÎ)
$ygn=÷WÏB
öNèdur
Ÿw tbqßJn=ôàãƒ
ÇÊÏÉÈ
160. Barangsiapa membawa amal yang baik,
Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa
perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan
kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
Ayat
di atas menjelaskan bahwa orang yang tidak mengingkari Allah dan tidak
menyekutukan sesuatu dengan-Nya, dosanya berada di bawah dosa orang kafir dan
orang musyrik. Allah telah menetapkan kekekalan dalam neraka sebagai siksaan
bagi kemusyrikan dan kekufuran. Maka sekiranya pelaku dosa besar disiksa sebagai
mana siksaan terhadap orang kafir, padahal mereka beriman, niscaya hukumannya
itu melebihi kadar dosanya.
2.3.
Perbuatan-Perbuatan
Tuhan
2.3.1. Kewajiban
Tuhan terhadap Manusia
Kaum
mu’tazillah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap
manusia. Kewajiban itu dapat disimpulkan dalam 1 kewajiban, yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dalam faham ini termasuklah
kewajiban-kewajiban seperti kewajiban tuhan menepati janjinya, kewajiban Tuhan
mengirim rasul-rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia, kewajiban Tuhan
memberi rezeki kepada manusia dan sebagainya. Faham bahwa Tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban timbul sebagai akibat dari konsep mu’tazilah tentang keadilan tuhan dan berjalan sejajar dengan paham
adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Bagi
kaum asy’ariyah, faham tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat di terima, karena
hal itu bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang
mereka anut. Faham mereka bahwa tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap
makhluknya mengandung arti bahwa tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa. Sebagai
kata al-ghazali perbuatan-perbuatan tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan
tidak satupun dari padanya yang mempunyai sifat wajib.
Kaum
maturidiah golongan Bukhara sefaham dengan kaum asy’ariyah tentang tidak adanya
kewajiban bagi tuhan. Golongan Samarkand, memberi batasan-batasan kepada
kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan dan demikian dapat menerima faham adanya
kewajiban-kewajiban bagi tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji
tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.
2.3.2. Berbuat
Baik Dan Terbaik
Term
ini dalam teologi islam terkenal sebagai term mutazilah dan yang dimaksud
adalah kewajiban tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini
memang merupakan salah satu keyakinan yang penting bagi kaum mu’tazilah.
Bagi
kaum asy’ariyah jelas bahwa paham ini
tak dapat diterima, karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan oleh Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan
tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.[20]
Kaum
maturidiah dengan kedua golongannya
juga tidak sefaham dengan kaum mu’tazilah
dalam hal ini.
2.3.3. Beban Diluar Kemampuan Manusia
Memberi beban diluar kemampuan manusia (taklif ma la
yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Oleh karena
itu kaum Mu’tazilah tidak menerima faham bahwa tuhan dapat memberi manusia
beban yan tidak dapat dipikul dan bertentangan dengan faham mereka tentang
keadilan Tuhan dimana tuhan akan bersifat tidak adil jika memberi beban yang
terlalu berat kepada manusia.
Kaum Asy’ariah percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan,
dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat
dipikul manusia. Al-Ghazali mengatakan demikian juga dalam al-Iqtisad. Mereka
percaya perbuatan manusia pada hakekatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan
dengan daya Tuhan dan bukan dengan daya manusia. Manusia masih akan dapat
melaksanakan beban yang tak terpikul, karena yang mewujudkan perbuatan manusia
sebenarnya bukanlah manusia, tetapi Tuhan.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara hampir sependapat denga
kaum Asy’ariah dalam soal kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dimana dalam hal
daya Tuhan yang tak terbataslah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatan
manusia. Oleh karena itu faham taklif ma la yutaq dapat mereka terima.
Golongan Samarkand lebih mendekati Mu’tazilah yang
memiliki faham bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan Tuhan
2.3.4. Pengiriman Rasul-Rasul
Bagi kaum Mu’tazilah
akal dapat mengetahui hal-hal tentang alam gaib, pengiriman Rasul-rasul
sebenarnya tidak begitu penting dimana mereka menganggap wahyu bersifat
memperkuat dan menyempurnakan apa-apa yang telah diketahui manusia melalui
akalnya. Pengiriman rasul-rasul bersifat wajib bagi kaum Mu’tazilah karena
keadaan akal tidak dapat mengetahui segala apa yang harus diketahui manusia
tentang Tuhan untuk rasul-rasul kepada umat manusia.
Berbeda dengan kaum Mu’tazilah, kaum Asy’ariah lebih
banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam ghaib, bahkan juga
untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan
dengan kehidupan manusia. Pengiriman rasul-rasul dalam teologi mereka
tidaklah wajib seperti menurut Mu’tazilah karena Tuhan tidak mempunyai kewajiban
apa-apa terhadap manusia.
Sekiranya Tuhan tidak mengutus rasul-rasul kepada umat
manusia,hidup mereka akan mengalami kekacauan, karena tanpa wahyu manusia tidak
akan dapat memperbedakan perbuatan baik dan perbuatan buruk
2.3.5. Janji Dan Ancaman
Dalam perbuatan-perbuatan Tuhan termasuk perbuatan
menepati janji dan menjalankan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id). Janji dan
aancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan kaum Mu’tazilah yang
berkaitan hubungannya dengan keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil, jika ia tidak
menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, dan ancaman
untuk memberikan hukuman kepada orang yang berbuat jahat, hal ini akan membuat
Tuhan mempunyai sifat berdusta[21].
Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
Bagi kaum Asy’ariah faham ini tidak dapat berjalan
sejajar dengan keyakinan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan
tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Tuhan tidak mempunyai
kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-Quran
dan Hadis. Tetapi dalam al-Qur’an dengan tegas dikatakan bahwa siapa yang
berbuat baik akan masuk surga dan siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka.
Untuk mengatasinya, kata-kata Arab yang menggambarkan
arti siapa, oleh al-Asy’ari sendiri “bukan semua orang, tetapi sebagian[22].
Dengan demikian kata “siapa” dalam ayat
“Barang siapa menelan harta yatim piatu dengan cara tidak adil, maka ia
sebenarnya menelan api masuk ke dalam perutnya”[23]
mengandung arti bukan seluruh tetapi sebahagian orang yang menelan harta yatim
piatu. Yang sebagian akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara dalam pendapat mereka
yang dijelaskan oleh al-Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak
mungkin Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang
berbuat jahat[24]
Oleh karena itu nasib orang yang berbuat dosa besar ditentukan oleh kehendak
mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk memberi ampun kepada orang yang
berdosa, Tuhan akan memasukkannya bukan ke dalam neraka, tetapi ke dalam surga,
dan jika ia berkehendak untuk memberi hukuman kepadanya Tuhan akan
memasukkannya kedalam neraka untuk sementara tau selama-lamanya.
Dari sini dapat diketahui bahwa menurut faham al-Bazdawi
kekuasaan dan kehendak Tuhan tidaklah betul-betul mutlak seperti yang dianut
oleh kaum Asy’ariah. Bagi kaum Asy’ariah, Tuhan boleh saja melanggar
janji-janjinya. Bagi Maturidiah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar
janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik.
Golongan Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang
sama dengan kaum Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa pahala dan hukuman Tuhan
tak boleh tidak mesti terjadi kelak.
2.4.
Perbuatan Manusia
Masalah
perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang di lakukan oleh
kelompokjabariyah (pengikut ja’d bin dirham dan jahm bin safwan ) dan kelompok
qadariyah (pengikut ma’bad Al-Juhani dan ghailan ad-dimwyaqi), yang kemudian di
lanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, asy
‘ariyah dan muturidiyah
Akar
masalah pebuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam
semesta, termasuk dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat maha kuasa dan
mempunyai kehendak yang bersifat mutlak, dari sini timbulah pernyataan sampai
di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung kepada kekuasaan Tuhan
dalam menentukan perjalanan hidupnya?
2.4.1.
Aliran jabariyah
Tampaknya
ada perbedaan pandangan antara jabariyah ekstrim dan jabariah moderat dalam
masalah perbuatan manusia. Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan
manusia merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi
perbuatan yang di laksanakan atas dirinya. Minsalnya, kalau seseorang mencuri,
perbuatnya mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul
karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demkian.5 Bahkan, jahm bin
shafwan, salah seorang tokoh Jabariyah ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak
mampu berbuat apa-apa.
Adapun
Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan peranan di
dalamnya. Tenaga yang di ciptakan di dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatannya. Inilah yang di maksud dengan kasab (acquisition).
Menurut paham kasab manusia tidaklah majbur (di paksa oleh Tuhan), tidak
seperti wayang yang kehendaki oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang di ciptakan Tuhan.
2.4.2.
Aliran qadariyah
Aliran
qadariah menyatakan bahwa tingkah laku manusia di lakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunya kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas
kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, ia
berhak mendapatkan pahala kebaikan yang di lakukannya dan juga berhak memperoleh
hukuman atas kejahatan yang di perbuatnya. Dalam kaitan ini bila seseorang di
beri ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan ganjaran siksa
dengan balasan neraka kelak di akhirat.
Paham
takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertiah takdir yang umum di
pakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib
manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Menurut bangsa arab, dalam
perbuatan-perbuatanya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di
tentukan semenjak ajal terhadap dirinya adapun paham Qadariyah, takdir itu
adalah ketentuan Allah yang di ciptakannya untuk alam semesta beserta seluruh
isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang di dalam isitlah Al-Qur’an adalah
sunatullah.6
Aliran
Qadariyah berpendapat bahwa tidak adala alasan yang dapat menyadarkan segala
perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunya tempat
pijakan dalam doktrin islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendukung
pendapat ini, minsalnya dalam surat Al-Kahfi ayat 29.
2.4.3.
Aliran Mu’tazilah7
Aliran
Mu’tazilah memandang manusia mempnyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena
itu, mu’tazlah menganut faham Qadariyah atau free will. Menurut al-juba’i dan
abd al-jubraa, manusialah yag menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia
sendirilah yang berbuat baik dan buruk. KepaTuhan dan ketaatan seseorang kepada
Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-sititha’ah) untuk
mewujudkan kehhendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Perbuatan
manusia bukanlah di ciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah
yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Mu’tazilah dengan
tegas menyatakan bahwa daya juga beasal dari manusia. Daya yang terdapat pada
diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. jadi, Tuhan tidak dilibatkan
dalam perbuatan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan
bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbutan. Bagaimana mungkin, dalam satu
perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?
Dengan
faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan
manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Meskipun
berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula
menentukanya, kalangan Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azalai Allah yang
mengetahui segala apa yang membedakannya dari penganut qadariyah murni.
Aliran
Mu’tazilah mengemukakakn argumentasi rasional berikut ini.
a. Kalau
Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan menusia sendiri tidak mempnyai
perbuatan, batAllah taklif syar’i. Hal ini karena syariat adalah ungkapan
perintah dan larangan yang merupakan thalab. Tidak terlepas dari kemampuan,
kebebasan, dan pilihan.
b. Kalau
manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan
hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman).
Hal ini karena perbuatan ini menjaditidak dapat di sandarkan kepadanya secara
mutlak sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan.
c. Kalau
manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada
gunanya sama sekali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah
harus dibarengi kebebasan pilihan?
Konsekuensi
lain dari faham di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam
penentuan ajal kerena ajal itu ada dua macam, pertama, adalah al-ajal
ath-thabi’i ajal inilah yang di pandangMu’tazilah sebagai kekuasaanmutlakTuhan
untuk menentukannya. Adapun jenis yang kedua adalah ajal yang dibikin manusia
itu sendiri, minsalnya membunuh seseorang atau bunuh diri di tiang gantungan,
atau minum racun. Ajal yang ini dapat dipercepat dan diperlambat.
2.4.4.
Aliran asy’ariyah
Dalam
faham asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia di ibaratkan anak
kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hudipnya. Oleh karena itu, aliran ini
lebih dekat dengan faham jabariyah dari pada dengan faham Mu’tazilah. Untuk
menjelaskan daasar pijakannya, asy’ari, pendiri aliran asy’ariyah, memakai
teori al-kasb (acquistion, perolehan). Teori al-kasb asy’ari dapat dijelaskan
sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantraan daya yang di
ciptakan, sehingga terjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk
melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia
kehilangan kaktifan, sehingga mansia bersikap pasif dalam
perbuatan-perbuatannya.
Pada
prinsipnya, aliran asy’ariyah perpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan
Allah, sedangkan daya manusia tidak mempnyai efek untuk mewujudkannya. Allah,
sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah
menciptakanperbuatan untuk manusia dan menciptakan pulah-pada dirimanusia-daya
untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptan
Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb
mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan deya manusia yang baru. Ini
berimplikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan
atas daya kehendaknya.
2.4.5.
Aliran maturidiyah
Ada
perbedataan antara maturidiyahsamarkand dan maruridiyah bukhara mengenai
perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faha Mu’tazilah,
sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham asy’ariyah. Kehedak dan daya
berbuat pad diri manusia, menurut maturidiyah samarkand, adalahkehendak dan
daya manusia dalam arrti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan.
Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan
sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian
porsinya lebih kecil dari pada daya yang terdapat dalam fahamMu’tazilah. Oleh
karena itu, manusia dalam faham al-marturidi, tidaklah sebebas manusia dalam
Mu’tazilah.
Mutidyah
bukhara dalam banyak hal sependapat dengan maturidiyah samarkand. Hanya saja
golongan ini memberkan tambahan dalam masalah daya. Munurutnya untuk perwujudan
perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan
perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan
tuahn baginya.
[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat,
(Jakarta: Gramedia, Cet. Ke-4, 2005), hlm. 1090.
[2] Muhammad Al-Fayyadl, Teologi
Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, (Yogyakarta: LKiS, 2012),
hlm. 5.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan(Jakarta:UI Press, 1986) hlm 13.
[4] Ibid, hlm 14
[5] Ibid
[6] Ibid
[7]Aswadie Syukur. Al-Milal
wa al-Nihal:Aliran-aliran Teologi dalamSejarah Umat Islam (terj).
(Surabaya: Bina Ilmu, tth), h.107
[8] Ibid 108
[9] Muhammad Amri. Khazanah
PemikiranIlmu Kalam. (Cet. I; Solo: Zadahaniva, 2011), h.12-13
[10] Ibid
[11] Harun Nasution. op.cit,
h. 25
[12] Ibid hlm.26
[13] Harun Nasution. op.cit., h.
147
[14] Ilhamuddin. Pemikiran
Kalam al-Baqilani:Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan al-Asy”ary.
(Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 126-127
[15] Harun Nasution.op.cit.,
h. 68
[16] Ibid., h. 70
[17] Ibid., h. 147-148
[18] 31Harun Nasution. op.cit., h.
71
[19] Harun Nasution. op.cit., h.
77
[20] Ibid. hal.129
[21] Al-Usul, 135
[22] Al-Luma’, 77 dst.
[23] An-Nisa,(4)-10
[24]
Usul al-Din,131
Comments
Post a Comment